Kondisi supremasi sipil yang dicita-citakan sekarang ini masih sangat rawan, karena pengaturan kehidupan sosial politik masyarakat belum bisa melepaskan diri dari pola yang sudah dibangun sedemikian lama oleh pemerintahan Orde Baru.
Karena itu, mau tidak mau supremasi sipil harus bersimbiosis dengan supremasi militer. Pasalnya, pemerintahan sipil masih menghadapi dua kendala, yaitu legitimasinya yang masih belum diterima di beberapa daerah konflik dan kapasitas institusionalnya dalam menjalankan program-program pemerintahan.
Demikian rangkuman dari pandangan yang disampaikan dua pakar politik, Kusnanto Anggoro dan Cornelis Lay, saat keduanya berbicara pada ”Seminar Nasional Penyelesaian Kasus-kasus Pelanggaran HAM Masa Lalu: Antara Kebenaran dan Keadilan,” yang diselenggarakan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Selasa (11/4), di Jakarta.
Keduanya sependapat, peluang kembalinya supremasi militer masih besar, karena sampai saat ini masyarakat sipil masih belum mampu menyelesaikan beberapa persoalan di antara masyarakat sipil sendiri. Berdasarkan penelitian yang dilakukannya, Lay mencontohkan, kalangan sangat terdidik melihat Kodim, Korem, sampai Babinsa sebagai rumah yang wajar bagi para tentara. Kodam tidak dianggap sebagai ekspresi dari kegiatan militer dalam politik di Indonesia. Justru pada masyarakat pinggiran dan kurang terdidik penolakan terhadap militer ini sangat kuat.
Menurut Lay, pemerintahan Orde Baru diletakkan pada suatu sistem intelijen yang sangat rapi. “Sampai hari ini, semua perbincangan tentang militer Indonesia jarang mempertimbangkan bahwa masyarakat sipil yang dibangun itu sudah sampai pada titik sangat rawan, di mana setiap anggota masyarakat sudah menjalankan fungsi memata-matai tetangganya dan orang lain, mulai dari format RT sampai pemerintah pusat di Jakarta,” jelasnya.
Format politik darurat Orde Baru, tambah Lay, akan terus berpeluang hidup, karena kita tidak mempunyai sebuah sistem ketahanan nasional yang kuat. Konflik sosial dalam masyarakat begitu rawan, tanpa punya kapasitas baik secara institusional maupun kultural untuk menyelesaikan konflik-konflik ini secara damai.
Hal itu sampai sekarang masih terlihat, baik dalam kehidupan partai politik (parpol) maupun masyarakat sipil pada umumnya. “Jika sampai puncaknya, hal ini akan mengundang militer untuk kembali mengambil alih,” ujarnya.
Pandangan militer
Menurut Anggoro, militer di Indonesia sekarang ini menghadapi persoalan besar, karena doktrin yang mereka miliki tidak lagi sesuai dengan tatanan politik yang ada sekarang. Sayangnya, intern militer sekarang justru enggan berbicara mengenai reformasi di lembaganya.
“Saya menduga, mereka tidak akan pergi terlalu jauh, karena ada masalah, yaitu pemahaman mereka tentang policy, politik, dan demokrasi kelihatannya tidak sama dengan apa yang kita pahami tentang policy, politik, dan demokrasi,” ungkapnya.
Ketika militer memahami demokrasi dan pendemokrasian, lanjut Anggoro, militer paling jauh akan berpikir dalam term authoritarian democracy. “Yang saya maksud dengan itu adalah bahwa TNI paling jauh akan berjalan dalam beberapa koridor, yaitu stabilitas dan order, konstitusionalisme dan legalisme, tanpa peduli apakah konstitusi atau aturan legal itu disusun melalui proses yang demokratis atau tidak. Hal kedua dari pandangan militer tentang demokrasi adalah bahwa mereka tidak akan beranjak dari prinsip gradualisme,” jelasnya.
Paket lainnya, tambah peneliti senior CSIS itu, adalah formalitas dalam menjalankan demokrasi. Militer hanya akan mempercayai partai politik, tetapi kurang mempercayai masyarakat sipil. Ini problem besar, karena partisipasi politik yang dilakukan parpol hanya sebagian dari partisipasi politik rakyat.
Alasannya, partisipasi politik rakyat bisa dilakukan melalui LSM, misalnya. Di sisi lain, parpol juga sejauh ini belum bisa menjadi tempat penyaluran partisipasi politik rakyat.
“Kita mungkin, mau tidak mau, harus membuka ruang dialog antara masyarakat sipil dengan DPR. Sayang sekali di sini ada problem, terutama yang berkaitan dengan masalah militer. Saya tidak begitu yakin di kalangan komisi di DPR ada ahli untuk mempersoalkan beberapa aspek militer dalam kehidupan politik, maupun militer dalam pertahanan,” ungkapnya.
Penyelesaian politik yang sekarang dicapai, menurut Anggoro, tidak lebih dari supremasi Gus Dur dan bukan supremasi sipil, karena dwifungsi masih ada di tingkat bawah.
“Mau tidak mau, kita harus mengakui bahwa potensi konflik di Indonesia masih cukup banyak, baik yang direkayasa atau tidak. Karena itu, di kemudian hari, kita harus membuat pembedaan yang jelas antara peran militer untuk mempertahankan RI dari ancaman luar dan peran militer untuk keamanan di dalam negeri,” katanya.
4 comments:
bwat agoenk ndek sana.......
salam zLemPinK LovErz.....
CreCHoLIC cReW.
so' miLiter, , ,!!!!
aRtikeLX kbanYak'en.
malez moco ngErti...
cReChOlic is pery kRezy
aQ DW cmAn NuMpAnG kTiK dOaNkZ
Your blog keeps getting better and better! Your older articles are not as good as newer ones you have a lot more creativity and originality now keep it up!
Post a Comment