Friday, December 7, 2007

JNgAn BiArKaN MiLiTEr bErkUaZa

Kondisi supremasi sipil yang dicita-citakan sekarang ini masih sangat rawan, karena pengaturan kehidupan sosial politik masyarakat belum bisa melepaskan diri dari pola yang sudah dibangun sedemikian lama oleh pemerintahan Orde Baru.

Karena itu, mau tidak mau supremasi sipil harus bersimbiosis dengan supremasi militer. Pasalnya, pemerintahan sipil masih menghadapi dua kendala, yaitu legitimasinya yang masih belum diterima di beberapa daerah konflik dan kapasitas institusionalnya dalam menjalankan program-program pemerintahan.

Demikian rangkuman dari pandangan yang disampaikan dua pakar politik, Kusnanto Anggoro dan Cornelis Lay, saat keduanya berbicara pada ”Seminar Nasional Penyelesaian Kasus-kasus Pelanggaran HAM Masa Lalu: Antara Kebenaran dan Keadilan,” yang diselenggarakan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Selasa (11/4), di Jakarta.

Keduanya sependapat, peluang kembalinya supremasi militer masih besar, karena sampai saat ini masyarakat sipil masih belum mampu menyelesaikan beberapa persoalan di antara masyarakat sipil sendiri. Berdasarkan penelitian yang dilakukannya, Lay mencontohkan, kalangan sangat terdidik melihat Kodim, Korem, sampai Babinsa sebagai rumah yang wajar bagi para tentara. Kodam tidak dianggap sebagai ekspresi dari kegiatan militer dalam politik di Indonesia. Justru pada masyarakat pinggiran dan kurang terdidik penolakan terhadap militer ini sangat kuat.

Menurut Lay, pemerintahan Orde Baru diletakkan pada suatu sistem intelijen yang sangat rapi. “Sampai hari ini, semua perbincangan tentang militer Indonesia jarang mempertimbangkan bahwa masyarakat sipil yang dibangun itu sudah sampai pada titik sangat rawan, di mana setiap anggota masyarakat sudah menjalankan fungsi memata-matai tetangganya dan orang lain, mulai dari format RT sampai pemerintah pusat di Jakarta,” jelasnya.

Format politik darurat Orde Baru, tambah Lay, akan terus berpeluang hidup, karena kita tidak mempunyai sebuah sistem ketahanan nasional yang kuat. Konflik sosial dalam masyarakat begitu rawan, tanpa punya kapasitas baik secara institusional maupun kultural untuk menyelesaikan konflik-konflik ini secara damai.

Hal itu sampai sekarang masih terlihat, baik dalam kehidupan partai politik (parpol) maupun masyarakat sipil pada umumnya. “Jika sampai puncaknya, hal ini akan mengundang militer untuk kembali mengambil alih,” ujarnya.

Pandangan militer

Menurut Anggoro, militer di Indonesia sekarang ini menghadapi persoalan besar, karena doktrin yang mereka miliki tidak lagi sesuai dengan tatanan politik yang ada sekarang. Sayangnya, intern militer sekarang justru enggan berbicara mengenai reformasi di lembaganya.

“Saya menduga, mereka tidak akan pergi terlalu jauh, karena ada masalah, yaitu pemahaman mereka tentang policy, politik, dan demokrasi kelihatannya tidak sama dengan apa yang kita pahami tentang policy, politik, dan demokrasi,” ungkapnya.

Ketika militer memahami demokrasi dan pendemokrasian, lanjut Anggoro, militer paling jauh akan berpikir dalam term authoritarian democracy. “Yang saya maksud dengan itu adalah bahwa TNI paling jauh akan berjalan dalam beberapa koridor, yaitu stabilitas dan order, konstitusionalisme dan legalisme, tanpa peduli apakah konstitusi atau aturan legal itu disusun melalui proses yang demokratis atau tidak. Hal kedua dari pandangan militer tentang demokrasi adalah bahwa mereka tidak akan beranjak dari prinsip gradualisme,” jelasnya.

Paket lainnya, tambah peneliti senior CSIS itu, adalah formalitas dalam menjalankan demokrasi. Militer hanya akan mempercayai partai politik, tetapi kurang mempercayai masyarakat sipil. Ini problem besar, karena partisipasi politik yang dilakukan parpol hanya sebagian dari partisipasi politik rakyat.

Alasannya, partisipasi politik rakyat bisa dilakukan melalui LSM, misalnya. Di sisi lain, parpol juga sejauh ini belum bisa menjadi tempat penyaluran partisipasi politik rakyat.

“Kita mungkin, mau tidak mau, harus membuka ruang dialog antara masyarakat sipil dengan DPR. Sayang sekali di sini ada problem, terutama yang berkaitan dengan masalah militer. Saya tidak begitu yakin di kalangan komisi di DPR ada ahli untuk mempersoalkan beberapa aspek militer dalam kehidupan politik, maupun militer dalam pertahanan,” ungkapnya.

Penyelesaian politik yang sekarang dicapai, menurut Anggoro, tidak lebih dari supremasi Gus Dur dan bukan supremasi sipil, karena dwifungsi masih ada di tingkat bawah.

“Mau tidak mau, kita harus mengakui bahwa potensi konflik di Indonesia masih cukup banyak, baik yang direkayasa atau tidak. Karena itu, di kemudian hari, kita harus membuat pembedaan yang jelas antara peran militer untuk mempertahankan RI dari ancaman luar dan peran militer untuk keamanan di dalam negeri,” katanya.

thE MoUZe tIe

TIKUS adalah hewan yang harus diberantas. Ia membawa penyakit, kotor, dan merusak rumah tinggal. Namun, menangkap tikus bukanlah pekerjaan mudah. Ia gesit dan pandai berkelit. Penangkap tikus yang hanya menggunakan tangan kosong harus siap kecewa. Tikus akan lebih mudah ditangkap dengan jebakan.

SAMA halnya dengan tikus, koruptor harus diberantas. Ia amat merusak dan membahayakan kehidupan kita berbangsa. Namun, menangkap koruptor amatlah sulit. Terlebih manakala korupsi sudah pula menjadi praktik keseharian aparat peradilan.

Mafia peradilanlah yang justru mengatur alur penyelewengan hukum agar para koruptor terlepas dari jerat-jerat keadilan. Mafia peradilanlah, dengan para koruptor, yang akhirnya melahirkan mafia koruptor.

Maka, diperlukan inisiatif cerdas dan tegas untuk mendobrak kesolidan mafia koruptor. Inisiatif itu harus disusun terencana, rapi, sistematis, dan pada akhirnya menjebak agar sang tikus koruptor tidak berkutik.

PwIZi AnK BaNkSa

Hatiku pernah tertinggal
Di sudut-sudut kota
Di pinggir-pinggir kehidupan
Dan di dusun sunyi berbatasan sungai
Penuh tragedi

Hatiku pernah tertinggal
Dengan iba
Ketika air mata habis dalam duka
Bersama anak yatim dan janda nestapa
Dalam puing dan debu hunian mereka

Tuhanku, Engkau telah menjadi saksi
Di tanah beku, dingin dan tak ramah
Ambon, Poso, Sampit dan Atambua
Di relung kegelapan tetesan derita

Tertegun aku ketika nurani berbisik
Dan mengetuk rebana kerinduan
Tuk berlari dan menyapa
Kembang perdamaian yang kini mekar
Sayap persaudaraan yang kini mengangkasa
Dan hujan kasih sayang yang membasuh
Pertiwi
Dari taman sari, relung sanubari
Dari pelataran, getar alam pikiran
Bukan di ujung palu dan tajamnya pedang

GLObAl wArMiNg

Pemanasan global adalah kejadian meningkatnya temperatur rata-rata atmosfer, laut dan daratan Bumi.

Temperatur rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F) selama seratus tahun terakhir. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa, “sebagian besar peningkatan temperatur rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia”[1] melalui efek rumah kaca. Kesimpulan dasar ini telah dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik, termasuk semua akademi sains nasional dari negara-negara G8. Akan tetapi, masih terdapat beberapa ilmuwan yang tidak setuju dengan beberapa kesimpulan yang dikemukakan IPCC tersebut.

Model iklim yang dijadikan acuan oleh projek IPCC menunjukkan temperatur permukaan global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100.[1] Adanya beberapa hasil yang berbeda diakibatkan oleh penggunaan skenario-skenario berbeda pula dari emisi gas-gas rumah kaca di masa mendatang juga akibat model-model dengan sensitivitas iklim yang berbeda pula. Walaupun sebagian besar penelitian memfokuskan diri pada periode hingga 2100, pemanasan dan kenaikan muka air laut diperkirakan akan terus berlanjut selama lebih dari seribu tahun jika tingkat emisi gas rumah kaca telah stabil.[1] Ini mencerminkan besarnya kapasitas panas dari lautan.

Meningkatnya temperatur global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan yang lain seperti naiknya muka air laut, meningkatnya intensitas kejadian cuaca yang ekstrim,[2] serta perubahan jumlah dan pola presipitasi. Akibat-akibat pemanasan global yang lain adalah terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya gletser dan punahnya berbagai jenis hewan.

Beberapa hal-hal yang masih diragukan para ilmuan adalah mengenai jumlah pemanasan yang diperkirakan akan terjadi di masa depan, dan bagaimana pemanasan serta perubahan-perubahan yang terjadi tersebut akan bervariasi dari satu daerah ke daerah yang lain. Hingga saat ini masih terjadi perdebatan politik dan publik di dunia mengenai apa, jika ada, tindakan yang harus dilakukan untuk mengurangi atau membalikkan pemanasan lebih lanjut atau untuk beradaptasi terhadap konsekwensi-konsekwensi yang ada. Sebagian besar pemerintahan negara-negara di dunia telah menandatangani dan meratifikasi Protokol Kyoto, yang mengarah pada pengurangan emisi gas-gas rumah kaca.